LIDAH TAK BERTULANG
Karya Lisa Andriyani, S.Pd.
Pagi yang cerah. Seperti biasa para ibu-ibu menunggu
tukang sayur keliling langganannya. Begitu tukang sayur berteriak menjajakan
sayurannya ibu-ibu segera menuju ke tukang sayur.
Juminten : “Kamu bakalan pilih siapa Yu Parti? Pilih yang ganteng
saja Yu. Lumayan kalau ganteng kan bisa buat cuci mata.” seraya memilih sayur
mayur di gerobak pedagang sayur keliling.
Parti : “Halah ganteng tapi buat pajangan buat
apa Ju. Pilih yang ada duitnya dong Ju. Hidup butuh makan Ju kalau ganteng mah
tidak bakalan kenyang Ju.”
Pak Tukino : “Ngomongin apa to ibu-ibu ini, kok ada ganteng, ada duit. Kalau
ada yang bagi-bagi duit saya juga mau.” sambil membungkus sayur yang sudah di
pilih Parti ke kantong plastik.
Juminten : “Itu lho Pak, besok kan pemilihan kepala desa kampung
kita. Nah, kita lagi ngomongin siapa yang lebih baik untuk kita pilih. Mulai
dari kandidat dengan kriteria yang ganteng, punya duit banyak. Biasa Pak,
seperti tidak tahu saja hobi ibu-ibu di gang ini.” mengulurkan tangan yang
berisi uang untuk memabayar dan bergegas menuju rumahnya.
Pak Tukino : “Oalah, saya kira apa. Kalau seperti itu saran saya pilih
kepala desa yang pro rakyat, syukur-syukur bisa membuat jalan di gang ini
beraspal.”
Parti : “Wah, ide Pak Tukino cemerlang sekali,
belum kepikiran saya Pak.” membayar sayur mayur dan bergegas pulang ke rumah.
Sore itu, semua warga berkumpul di balai desa. Warga
desa berkumpul untuk menyaksikan debat calon Kepala Desa Sido Rukun. Debat
tersebut di pembawa acarai oleh Pak Bokir.
Pak Bokir : “Hadirin yang tidak sedih hatinya, mari kita live kan acara ini. Sebab acara tidak
akan mulai kalau tidak di live kan.
Di live artinya langsung, dan
langsung berarti di mulai. Maka dari itu acara harus di live kan. Iya langsung saja ya, saya perkenalkan. Sebab kalau tidak
diperkenalkan kita tidak tahu. Maka dari itu supaya kita menjadi tahu
diperkenalkan. Kandidat pertama Pak Kadir. Kandidat kedua Mas Kempling. Tepuk
tangan yang gemuruh.”
Pak Bokir yang memimpin jalannya
acara debat calon kepala desa pun mulai membacakan pertanyaan yang telah
tersusun di secarik kertas. Ia melihat wajah-wajah calon kepala desa yang
menanti pertanyaan dari dirinya. Tak hanya calon kepala desa, warga Desa Sido
Rukun pun tak sabar mendengar jawaban dari calon kepala desa mereka.
Pak Bokir : “Pertanyaan untuk Pak Kadir. Apa yang Anda lakukan setelah
terpilih menjadi Kepala Desa Sido Rukun?”
Pak Kadir : “Setelah saya terpilih jadi kepala desa, saya akan
memperbaiki jalan di sepanjang gang ini. Kesehatan akan terjamin, anak-anak
sekolah gratis, dan lain-lain!” ujar Pak Kadir yang begitu mantap dan
meyakinkan warga desa supaya percaya dengan ia.
Salah seorang warga desa berkomentar.
“Akh masak Pak? Kepala desa terdahulu juga berkata yang demikian. Tapi mana?
Jalan gang ini masih jalan tanah, bahkan ketika musim hujan tiba banyak warga
yang mengeluarkan uang demi membeli sandal baru akibat terjepit di tanah yang berlumpur.”
Semua mata tertuju pada warga yang berkomentar jujur dan apa adanya.
Pak Bokir : “Sudah-sudah jangan ada sianida di desa kita. Eh, ralat
jangan ada dusta di desa kita. Mari kita lanjutkan acara ini dengan damai. Pertanyaan
selanjutnya untuk Mas Kempling. Bagaimana cara Anda untuk menyejahterkan
masyarakat di desa kita supaya bisa go
nasional atau internasional?”
Mas Kempling: “Saya sebagai anak
muda, ganteng, baik, rajin menabung akan membuat kebijakan yang di dalamnya
mengandung terobosan-terobosan yang inovatif. Tepuk tangan dong. Terobosan itu
berupa sensasi, konflik.”
“Huuuuuuuu!”
Juminten, Parti dan warga lainnya bersorak tak sependapat dengan apa yang
diutarakan Mas Kempling.
Tiba
saatnya Pemilu Desa Sido Rukun. Semua warga tampak bingung dengan siapa yang
mereka pilih nantinya. Warga desa memadati TPS, ada yang merumpi, ada yang di
bilik suara, ada petugas TPS yang bekerja. Sampai tiba saatnya pengumuman
Kepala Desa Sido Rukun yang baru adalah Pak Kadir. Warga desa memilih Pak Kadir
karena visi misinya baik dan harapannya jalan sepanjang gang di desa diaspal
karena menurut mereka tingkat pembangunan di Desa Sido Rukun masih tertinggal.
Setahun kemudian warga mulai
menanyakan dan menagih janji Pak Kadir. Mereka mendesak supaya Pak Kadir segera
melakukan pembangunan di desa seperti mengaspal jalan gang. Usaha Pak Kadir tak
segera muncul kepermukaan bahkan Pak Kadir selalu mengelak dan beralasan uang
dari pemerintah belum cair meskipun proposal dan persyaratan lain sudah terkirim.
Namun semua itu akal-akalan dari Pak Kadir, yang terjadi sebenarnya adalah uang
dari pemerintah sudah turun namun tidak turun untuk dinikmati warga melainkan
dinikmati oleh Pak Kadir sendiri. Pak Bokir yang merupakan tokoh masyarakat
yang mempunyai teman di pemerintah dalam pembangunan desa tahu mengenai uang
pembangunan sudah turun. Akan tetapi Pak Kadir tidak merealisasikan dan
korupsi. Pak Bokir mengajak seluruh warga untuk berdemo menuntut pembangunan
jalan desa.
Pak Bokir : “Pak Kades, kami menuntut keadilan dan transparansi uang
untuk desa kami. Pak Kades harus segera membangun tanggul, jembatan dan
mengaspal jalan desa gang kami. Kalau Pak Kadir tidak mau merelisasikan kami
akan laporkan ke polisi atas kasus penyelewengan dana. Kami sudah tahu
semuanya.” berbicara dengan penuh emosi.
Pak Kadir : “Kalian ngomong apa to? Saya tidak tahu apa-apa tentang
uang desa, saya sudah berusaha membuat persyaratan tetapi memang belum turun
dananya.”
“Pembohong!.”
sambung warga lain yang ikut-ikut nimbrung.
Pak Bokir : “Kami sudah membawa barang bukti, untuk lebih lanjut Pak
Kadir tolong ikut kami ke pihak berwajib.”
Pak Kadir : “Saya memang tidak bersalah, kalian telah menuduh saya dan
saya tidak perlu ikut kalian.”
Pak Kadir dipaksa oleh warga yang
telah emosi ke pihak berwajib dan bukti-bukti telah mengarah ke Pak Kadir. Pak
Kadir tak bisa mengelak apa-apa. Pak Kadir akhirnya mengakui kesalahannya dan
meminta maaf. Namun nasi telah menjadi bubur, kata maaf diterima oleh warga
namun proses hukum tetap lah berlanjut.